BAB I
ARTI DAN TUJUAN HUKUM
MANUSIA DAN MASYARAKAT
1. Manusia sebagai makhluk sosial
Menurut kodrat alam, manusia di mana-mana dan pada zaman
apapun juga selalu hidup bersama, hidup berkelompok-kelompok. Sekurang-kurangnya
kehidupan bersama itu terdiri dari dua orang, suami istri ataupun ibu dan
bayinya. Aristoteles (384-322 SM), seorang ahli pikir Yunani Kuno menyatakan
dalam ajarannya, bahwa manusia itu adalah ZOON POLITICON, artinya bahwa manusia
itu sebagai makhluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan
sesama manusia lainnya, jadi makhluk yang suka bermasyarakat. Dan oleh karena
sifatnya yang suka bergaul satu sama lain, maka manusia disebut makhluk sosial.
Manusia sebagai individu (perseorangan) mempunyai kehidupan jiwa yang
menyindiri, namun manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari
masyarakat. Manusia lahir, hidup berkembang dan meninggal dunia di dalam
masyarakat. Sebagai individu, manusia tidak dapat mencapai segala sesuatu yang
diinginkannya dengan mudah.
2. Masyarakat
Persatuan manusia yang timbul
dari kodrat yang sama itu lazim disebut masyarakat. Jadi masyarakat itu
terbentuk apabila ada dua orang atau lebih hidup bersama, sehingga dalam
pergaulan hidup itu timbul berbagai hubungan atau pertalian yang mengakibatkan
bahwa yang seorang dan yang lain saling kenal mengenal dan
pengaruh-mempengaruhi.
3. Golongan-golongan dalam masyarakat.
Dalam masyarakat terdapat berbagai golongan, adapun golongan-golongan dalam
masyarakat itu disebabkan antara lain karena orang :
a. merasa tertarik oleh orang lain yang tertentu.
b. merasa mempunyai kesukaan yang sama dengan orang lain.
c. merasa memerlukan kekuatan/bantuan orang lain.
d. mempunyai hubungan daerah dengan orang lain.
e. mempunyai hubungan kerja dengan orang lain.
Sifat golongan-golongan dalam masyarakat itu bermacam-macam dan bergantung pada
dasar dan tujuan hubungan orang-orang dalam golongan itu. Pada umumnya ada tiga
macam golongan yang besar yaitu :
1). Golongan yang berdasarkan hubungan
kekeluargaan: perkumpulan keluarga
2). Golongan yang berdasarkan hubungan
kepentingan/pekerjaan : perkumpulan ekonomi, koperasi, serikat-pekerja,
perkumpulan sosial, perkumpulan kesenian, olahraga dan lain-lain
3). Golongan yang berdasarkan
hubungan tujuan/pandangan hidup atau ideologi; partai politik, perkumpulan
keagamaan.
Dalam suatu masyarakat kerapkali harus ada kerjasama
antara golongan yang satu dan yang lain.
4. Bentuk masyarakat.
Masyarakat
sebagai bentuk pergaulan hidup bermacam-macam ragamnya, di antaranya yaitu :
a. yang berdasarkan hubungan yang diciptakan para
anggotanya:
1) masyarakat peguyuban (gemeinschaft) apabila
hubungan itu bersifat kepribadian dan menimbulkan ikatan batin, misalnya rumah
tangga, perkumpulan kematian dan sebagainya.
2) masyarakat patembayan (gesellschaft), apabila hubungan
itu bersifat tidak kepribadian dan bertujuan untuk mencapai keuntungan
kebendaan, misalnya Firma, PT, Perseroan Komanditer, dan lain-lain.
b. yang berdasarkan sifat pembentukannya, yaitu :
1). Masyarakat yang teratur oleh karena sengaja diatur
untuk tujuan tertentu, misalnya perkumpulan olahraga.
2) masyarakat yang teratur tetapi terjadi dengan
sendirinya, oleh karena orang-orang yang bersangkutan mempunyai kepentingan
bersama, misalnya para penonton bioskop, penonton pertandingan sepak bola dan
lain-lain.
3). Masyarakat yang tidak teratur, misalnya para pembaca
surat kabar.
c. yang berdasarkan hubungan kekeluargaan; rumah
tangga, sanak saudara, suku, bangsa dan lain-lain.
d. yang berdasarkan peri kehidupan/kebudayaan :
- masyarakat primitif dan modern
-masyarakat desa dan masyarakat kota
-masyarakat territorial
-masyarakat genealogis
-masyarakat territorial-genealogis
5. Pendorong hidup bermasyarakat
Adapun yang menyebabkan manusia selalu
hidup bermasyarakat ialah antara lain dorongan kesatuan biologis yang terdapat
dalam naluri manusia, misalnya :
a. hasrat untuk memenuhi keperluan makan dan minum
b. hasrat untuk membela diri
c. hasrat untuk mengadakan keturunan.
Adapun naluri itu sudah ada pada diri manusia sejak ia
dilahirkan, tanpa ada orang lain yang mengajarkannya.
6. Tata Hidup Bermasyarakat
Tiap manusia mempunyai sifat, watak dan kehendak sendiri-sendiri. Tiap manusia
mempunyai keperluan sendiri-sendiri. Peraturan hidup itu memberi petunjuk
kepada manusia bagaimana ia harus bertingkah laku dan bertindak di dalam
masyarakat. Peraturan hidup kemasyarakatan yang bersifat mengatur dan memaksa
untuk menjamin tata tertib dalam masyarakat dinamakan peraturan hukum atau
kaedah hukum.
PENGERTIAN HUKUM
Apakah sebenarnya hukum itu?
Menurut Prof.van Apeldoorn adalah sangat sulit untuk dibuat, karena tidak
mungkin untuk mengadakannya yang sesuai dengan kenyataan.
Pendapat Para Sarjana tentang Hukum
Sebagai
gambaran Prof. Sudiman Kartohadiprodjo, S.H. lalu memberikan contoh-contoh
tentang definisi Hukum yang berbeda-beda sebagai berikut :
a. Prof. Mr. E.M.Meyers; hukum ialah semua aturan yang
mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam
masyarakat dan yang menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa Negara dalam
melakukan tugasnya.
b. Leon Duguit ; Hukum ialah aturan tingkah laku para
anggota masyarakat aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan
oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan jika
dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran
itu.
c. Imannuel Kant : ”hukum ialah keseluruhan syarat-syarat
yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri
dengan kehendak bebas dari orang yang lain, menuruti peraturan hukum tentang
kemerdekaan”.
DEFINISI HUKUM SEBAGAI PEGANGAN
Utrecht
memberikan batasan Hukum sebagai berikut : hukum itu adalah himpunan
peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus
tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu.
UNSUR-UNSUR HUKUM
Dari beberapa perumusan tentang hukum yang diberikan para sarjana hukum
Indonesia tersebut, dapat diambil kesimpulan, bahwa Hukum itu meliputi beberapa
unsur, yaitu :
a. peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam
pergaulan masyarakat
b. peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang
berwajib
c. peraturan itu bersifat memaksa
d. sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah
tegas.
CIRI-CIRI HUKUM
Untuk dapat mengenal hukum itu kita harus dapat mengenal ciri-ciri hukum
yaitu:
a. adanya perintah dan/atau larangan
b. perintah dan/atau larangan itu harus patuh ditaati
setiap orang
Setiap orang wajib bertindak sedemikian rupa dalam
masyarakat, sehingga tata tertib dalam masyarakat itu tetap terpelihara dengan
sebaik-baiknya. Hukuman atau pidana itu bermacam-macam jenisnya, yang menurut
pasal 10 pasal KUHP ialah :
a. Pidana pokok, yang terdiri dari:
1. Pidana pokok, yang terdiri dari :
2. Pidana penjara :
-seumur hidup
-sementara (setinggi-tingginya 20 tahun dan
sekurang-kurangnya satu tahun) atau pidana penjara selama waktu tertentu
- pidana kurungan, sekurang-kurangnya satu hari dan
setinggi-tingginya satu tahun
- pidana denda (sebagai pengganti hukuman kurungan)
-pidana tutupan
b. Pidana Tambahan, yang terdiri dari :
-pencabutan hak-hak tertentu.
-perampasan (penyitaan) barang-barang tertentu.
-pengumuman keputusan hakim.
Sifat Dari Hukum
Dengan demikian
hukum itu mempunyai sifat mengatur dan memaksa. Ia merupakan
peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dapat memaksa orang supaya mentaati
tata tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas terhadap siapa
yang tidak mau patuh mentaatinya.
TUJUAN HUKUM
Hukum itu
bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus
pula bersendikan pada keadilan yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat
itu.
TEORI ETIS
Teori ini mengajarkan bahwa isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh
kesadaran etis kita mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil.
Hukum menetapkan peraturan-peraturan umum yang menjadi
petunjuk untuk orang-orang dalam pergaulan masyarakat.
Dengan demikian hukum harus menentukan peraturan umum,
harus menyamaratakan.
GENY
Geny mengajarkan bahwa hukum bertujuan semata-mata untuk mencapai keadilan.
Dan sebagai unsur daripada keadilan disebutkannya ” kepentingan daya guna dan
kemanfaatan”.
BAB II
SUMBER-SUMBER HUKUM
SUMBER-SUMBER HUKUM MATERIAL DAN FORMAL.
Yang dimaksud dengan sumber hukum ialah segala apa saja yang menimbulkan
aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni
aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.
1.Sumber-sumber hukum material, dapat ditinjau
lagi dari berbagai sudut, misalnya dari sudut ekonomi, sejarah, sosiologi,
filsafat dan sebagainya.
2. Sumber-sumber hukum formal antara lain ialah:
a.Undang-Undang(statute)
b. Kebiasaan (custom)
c. Jurisprudentie
d. Traktat
e. Doktrin
3. UNDANG-UNDANG
Undang-undang ialah suatu peraturan negara yang mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa negara.
a. Syarat-syarat berlakunya suatu undang-undang.
Syarat mutlak untuk berlakunya
suatu undang-undang ialah diundangkandalam Lembaran Negara oleh
Menteri/Sekretaris Negara. Tanggal mulai berlakunya suatu undang-undang menurut
tanggal yang ditentukan dalam undang-undang itu sendiri.
Jika tanggal berlakunya itu tidak disebutkan dalam
undang-undang, maka undang-undang itu mulai berlaku 30 hari sesudah diundangkan
dalam L.N untuk Jawa dan Madura, dan untuk daerah-daerah lainnya baru berlaku
100 hari setelah pengundangan dalam L.N.
b. Berakhirnya kekuatan berlaku suatu
undang-undang.
Suatu undang-undang tidak berlaku lagi jika :
A. Jangka waktu berlaku telah ditentukan
oleh undang-undang itu sudah lampau.
B. Keadaan atau hal untuk mana undang-undang
itu diadakan sudah tidak ada lagi
C. Undang-undang itu
dengan tegas dicabut oleh instansi yang membuat atau instansi yang lebih
tinggi.
D. Telah diadakan
undang-undang yang baru yang isinya bertentangan dengan undang-undang yang dulu
berlaku.
4. Kebiasaan
(Custom).
Kebiasaan ialah perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam
hal yang sama.
5. KEPUTUSAN HAKIM (JURISPRUDENSI)
Keputusan hakim yang berisikan suatu peraturan sendiri berdasarkan wewenang
yang diberikan oleh pasal 22 A.B. menjadilah dasar keputusan hakim
lainnya/kemudiannya untuk mengadili perkara yang serupa dan keputusan hakim
tersebut lalu menjadi sumber hukum bagi pengadilan disebut Jurisprudensi.
Ada dua macam jurisprudensi yaitu :
a. jurisprudensi tetap
b. jurisprudensi tidak tetap
Jurisprudensi tetap ialah keputusan hakim yang terjadi karena rangkaian
keputusan serupa dan yang menjadi dasar bagi pengadilan untuk mengambil
keputusan.
6. TRAKTAT (TREATY)
Perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih disebut perjanjian
antar negara atau perjanjian internasional atau traktat.
7. Pendapat Sarjana Hukum ( Doktrin )
Pendapat para sarjana hukum yang ternama juga mempunyai kekuasaan dan
berpengaruh dalam pengambilan keputusan oleh hakim. Terutama dalam hubungan
internasional pendapat-pendapat para sarjana hukum mempunyai pengaruh yang
besar.
BAB III
MAZHAB-MAZHAB ILMU PENGETAHUAN HUKUM
1. Mazhab Hukum Alam
Adapun teori tentang hukum alam telah
ada sejak zaman dahulu yang diajarkan oleh Aristoteles, yang mengajarkan bahwa
ada dua macam hukum, yaitu:
a. hukum yang berlaku karena penetapan
penguasa negara.
b. hukum yang tidak tergantung
dari pandangan manusia tentang baik buruknya hukum yang ”asli”.
Hukum alam menurut Hugo de Groot ialah pertimbangan
pikiran yang menunjukkan mana yang benar dan mana yang tidak benar. Hukum alam
itu merupakan suatu pernyataan pikiran (akal) manusia yang sehat mengenai
persoalan apakah suatu perbuatan sesuai dengan kodrat manusia, dan karena itu
apakah perbuatan tersebut diperlukan atau harus ditolak.
2. Mazhab Sejarah
Menurut Von Savigny bahwa hukum itu harus dipandang
sebagai suatu penjelmaan dari jiwa atau rohani sesuatu bangsa; selalu ada suatu
hubungan yang erat antara hukum dengan kepribadian suatu bangsa. Hukum itu
menurut Von Savigny, bukanlah disusun atau diciptakan oleh orang, tetapi hukum
itu tumbuh sendiri di tengah-tengah rakyat; hukum itu adalah penjelmaan dari
kehendak rakyat, yang pada suatu saat juga akan mati apabila suatu bangsa
kehilangan kepribadiannya.
3. Teori Teokrasi
Teori-teori yang mendasarkan berlakunya Hukum atas kehendak Tuhan Yang Maha
Esa dinamakan Teori Ketuhanan (Teori Teokrasi). Berhubung peraturan-peraturan
itu ditetapkan Penguasa Negara, maka oleh penganjur Teori Teokrasi diajarkan
bahwa para penguasa Negara itu mendapat kuasa dari Tuhan; seolah-olah para Raja
dan penguasa lainnya merupakan wakil Tuhan.
4. Teori Kedaulatan Rakyat
Menurut aliran ini bahwa hukum itu adalah kemauan orang seluruhnya yang telah
meraka serahkan kepada suatu organisasi (yaitu Negara) yang telah terlebih
dahulu mereka bentuk dan diberi tugas membentuk hukum yang berlaku dalam
masyarakat.
5. Teori Kedaulatan Negara
Hukum itu ditaati ialah karena Negaralah yang menghendakinya; hukum adalah
kehendak Negara dan Negara itu mempunyai kekuatan (power) yang tidak
terbatas.
Teori ini dinamakan Teori Kedaulatan Negara. Penganjur
Teori Kedaulatan Negara yaitu Hans Kelsen, ia mengatakan bahwa hukum itu ialah
tidak lain daripada ”kemauan Negara”. Namun demikian Hans Kelsen mengatakan
bahwa orang taat kepada hukum bukan karena Negara menghendakinya, tetapi orang
taat pada hukum karena ia merasa wajib mentaatinya sebagai perintah Negara.
6. Teori Kedaulatan Hukum.
Menurut Krabbe, hukum hanyalah apa yang memenuhi rasa keadilan dari orang
terbanyak yang ditundukkan padanya. Hukum itu ada, karena anggota masyarakat
mempunyai perasaan bagaimana seharusnya hukum itu. Hanyalah kaedah yang timbul
dari perasaan hukum anggota sesuatu masyarakat, mempunyai kewibawaan/kekuasaan.
Suatu peraturan perundangan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan dari jumlah
terbanyak orang, tidak dapat mengikat.
7. Asas Keseimbangan.
Kranenburg membela ajaran Krabbe, bahwa kesadaran hukum orang itu menjadi
sumber hukum. Menurut Kranenburg, hukum itu berfungsi menurut suatu dalil yang
nyata (riil). Pembagian keuntungan dan kerugian dalam hal tidak ditetapkan
terlebih dahulu dasar-dasarnya, ialah bahwa tiap-tiap anggota masyarakat hukum
sederajat dan sama.
Hukum atau dalil ini oleh Kranenburg dinamakan Asas
Keseimbangan, berlaku di mana-mana dan pada waktu apapun.
BAB IV
PENEMUAN HUKUM
PEMBENTUKAN HUKUM OLEH HAKIM
1. Hakim Merupakan Faktor Pembentukan Hukum
Seorang hakim harus bertindak selaku pembentuk hukum dalam hal peraturan
perundangan tidak menyebutkan sesuatu ketentuan untuk menyelesaikan suatu
perkara yang terjadi.
Dengan kata lain, bahwa hakim harus menyesuaikan
Undang-undang dengan hal-hal yang konkrit, oleh karena peraturan-peraturan
tidak dapat mencakup segala peristiwa hukum yang timbul dalam masyarakat.
2.
Keputusan Hakim Bukan Peraturan Umum
Apabila suatu undang-undang isinya
tidak jelas maka Hakim berkewajiban untuk menafsirkannya sehingga dapat
diberikan keputusan yang sungguh-sungguh adil dan sesuai dengan maksud hukum
yakni mencapai kepastian hukum.
PENAFSIRAN HUKUM (INTERPRETASI HUKUM)
Ada beberapa macam penafsiran, antara lain :
A. Penafsiran tata bahasa
(grammatikal), yaitu cara penafsiran berdasarkan pada bunyi ketentuan
undang-undang, dengan berpedoman pada arti perkataan-perkataan dalam
hubungannya satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang dipakai oleh
undang-undang; yakni dalam pemakaian sehari-hari menurut kebiasaan.
B. Penafsiran sahih (autentik,
resmi) ialah penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang
diberikan oleh Pembentuk Undang-undang, misalnya Pasal 98 KUHP.
C. Penafsiran historis yaitu :
a. sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah terjadinya
hukum tersebut. Sejarah terjadinya hukum dapat diselidiki dari memori
penjelasan, laporan-laporan perdebatan dalam DPR dan surat-menyurat.
b. sejarah undang-undangnya yang diselidiki maksud pembentuk undang-undang pada
waktu membuat undang-undang itu.
D. Penafsiran sitematis, penafsiran
menilik susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam
undang-undang itu maupun dengan undang-undang yang lain misalnya asas monogami
tersebut di pasal 27 KUHS.
E. Penafsiran Nasional, ialah
penafsiran menilik sesuai tidaknya dengan sistem hukum yang berlaku misalnya
hak milik pasal 27 KUHS.
F. Penafsiran teleologis, (sosiologis)
yaitu penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan undang-undang itu.
BAB V
PEMBIDANGAN ILMU PENGETAHUAN HUKUM
KODIFIKASI HUKUM
Menurut
bentuknya, hukum itu dapat dibedakan antara :
1. Hukum tertulis, yakni hukum yang
dicantumkan dalam berbagai peraturan perundangan.
2. Hukum tak tertulis, yaitu
hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi tidak tertulis namun
berlakunya ditaati seperti suatu peraturan perundangan.
Mengenai hukum tertulis, ada yang telah dikodifikasikan
dan yang belum dikodifikasikan.
Kodifikasi ialah pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang
secara sistematis dan lengkap.
Unsur-unsur kodifikasi ialah:
a.
jenis-jenis hukum tertentu
b. sistematis
c. lengkap
Tujuan kodifikasi daripada hukum tertulis ialah untuk
memperoleh:
a. kepastian hukum
b. penyederhanaan hukum
c. kesatuan hukum
3. Contoh Kodifikasi Hukum :
a. di Eropa : Corpus Iuris Civilis dan Code Civil tahun 1604.
di Indonesia
: Kitab Undang-undang Hukum Sipil (1 Mei 1848)
Kitab Undang-undang Hukum Dagang (1 Mei 1848)
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (1 Januari 1918)
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (31 Desember 1981
MACAM-MACAM PEMBAGIAN HUKUM
1. Pembagian Hukum Menurut Atas Pembagiannya
a. Menurut sumbernya, hukum dapat dibagi dalam :
1) hukum undang-undang
2) hukum kebiasaan (Adat) yaitu hukum yang terletak di dalam
peraturan- peraturan kebiasaan (adat).
3) hukum traktat
4) hukum Jurisprudensi
b. Menurut bentuknya, hukum dapat dibagi dalam :
1. Hukum tertulis,
yakni hukum yang dicantumkan dalam berbagai peraturan perundangan. Hukum ini dapat
pula merupakan :
* Hukum tertulis yang dikodifikasikan
* Hukum tertulis yang tak dikodifikasikan
2.
Hukum tak
tertulis, yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi tidak
tertulis namun berlakunya ditaati seperti suatu peraturan perundangan (Hukum
kebiasaan).
c. Menurut tempat berlakunya hukum dapat dibagi dalam :
1. Hukum Nasional
2. Hukum Internasional
3. Hukum Asing
4. Hukum Gereja
d. Menurut waktu berlakunya, hukum dapat dibagi dalam:
a.
Ius Constitutum
(Hukum Positif), yaitu hukum yang berlaku sekarang bagi suatu masyarakat
tertentu dalam suatu daerah tertentu.
b.
Ius
Constituendum yaitu hukum yang diharapkan berlaku pada waktu yang akan datang.
c.
Hukum Asasi
(Hukum Alam) yaitu hukum yang berlaku di mana-mana dalam segala waktu dan untuk
segala bangsa di dunia.
Ketiga macam hukum ini merupakan Hukum Duniawi.
e. Menurut
sifatnya, hukum dapat dibagi :
1. Hukum yang memaksa yaitu hukum yang dalam keadaan bagaimanapun juga harus
dan mempunyai paksaan mutlak.
2. Hukum yang mengatur yaitu hukum yang dapat dikesampingkan apabila
pihak-pihak yang bersangkutan telah membuat peraturan sendiri dalam suatu
perjanjian.
BAB VI
ILMU HUKUM SEBAGAI ILMU KAEDAH
HUKUM
HAKEKAT KAEDAH
1. Tata Tertib Masyarakat
Norma itu mempunyai dua macam isi, dan menurut isinya berwujud :
a. perintah, yang merupakan keharusan
bagi seseorang untuk berbuat sesuatu oleh karena akibat-akibatnya dipandang
baik.
b. larangan, yang merupakan keharusan
bagi seseorang untuk tidak berbuat sesuatu oleh karena akibat-akibatnya
dipandang tidak baik.
Guna norma itu ialah untuk memberi petunjuk kepada
manusia bagaimana seorang harus bertindak dalam masyarakat serta
perbuatan-perbuatan mana yang harus dijalankan dan perbuatan-perbuatan mana
pula yang harus dihindari.
Norma-norma itu dapat dipertahankan dengan sanksi-sanksi
yaitu dengan ancaman hukuman terhadap siapa saja yang melanggarnya.
2. Kaedah Dalam Kenyataan
Keamanan dalam masyarakat akan terpelihara bilamana tiap warga masyarakat itu
tidak mengganggu sesamanya. Norma hukum disertai sanksi berupa hukuman yang
sifatnya memaksa, jika peraturan hidup itu dilanggar.
KAEDAH HUKUM DAN KAEDAH LAINNYA.
Kehidupan manusia di dalam pergaulan masyarakat diliputi
oleh norma-norma, yaitu peraturan hidup yang mempengaruhi tingkah laku manusia
di dalam masyarakat.
BAB VII
ILMU HUKUM SEBAGAI ILMU PENGERTIAN
HUKUM
MASYARAKAT
HUKUM
Macam-macam
Pembagian Penduduk Indonesia
Warganegara
ialah setiap orang yang menurut Undang-undang Kewarganegaraan adalah termasuk
warganegara. Orang asing ialag orang yang bukan warganegara.
Menurut I.S. pasal 163 ayat 1 penduduk Indonesia dibagi
dalam 3 golongan penduduk, yaitu :
1. Golongan Eropa, ialah:
Bangsa Belanda;
Bukan bangsa Belanda, tetapi orang yang asalnya dari Eropa
Bangsa Jepang (untuk kepentingan hubungan perdagangan)
Orang-orang yang berasal dari negara lain yang hukum keluarganya sama dengan
Hukum Keluarga Belanda(Amerika, Australia, Rusia)
Keturunan mereka yang tersebut di atas
2. Golongan Timur Asing, yang meliputi :
Golongan Cina (Tionghoa)
Golongan
Timur Asing bukan Cina (Orang Arab, India, Pakistan, Mesir dan lain-lain)
3. Golongan Bumiputra, ialah:
a. Orang-orang Indonesia asli serta keturunannya yang tidak memasuki golongan
rakyat lain.
b. Orang yang mula-mula termasuk golongan-golongan rakyat lain, lalu masuk dan
menyesuaikan hidupnya dengan golongan Indonesia asli.
Dwi
Kewarganegaraan.
Dalam menentukan kewarganegaraannya beberapa negara memakai asas ius soli,
sedang di negara lain berlaku asas ius sanguinis. Hal demikian itu menimbulkan
dua kemungkinan yaitu :
a. apatride yaitu adanya seorang
penduduk yang sama sekali tidak mempunyai kewarganegaraan.
b. bipatride yaitu adanya seorang
penduduk yang mempunyai dua macam kewarganegaraan sekaligus (kewarganegaraan rangkap).
Pewarganegaraan (Naturalisasi)
a. Cara Pewarganegaraan
Negara RI memberi kesempatan kepada orang asing (bukan warga negara RI) untuk
menjadi warganegara Caranya ialah pewarganegaraan atau naturalisasi.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pemohon ialah :
1. Sudah berumur 21 tahun.
2. Lahir dalam wilayah RI, atau
bertempat tinggal sedikit-dikitnya 5 tahun berturut-turut atau selama 10 tahun
tidak berturut-turut di wilayah RI.
3. Apabila ia seorang laki-laki yang
sudah kawin, ia perlu mendapat persetujuan dari istrinya.
4. Dapat berbahasa Indonesia dan
mempunyai sekedar pengetahuan tentang sejarah Indonesia, serta tidak pernah
dihukum.
5. Dalam keadaan sehat rohaniah dan jasmaniah.
6. Bersedia membayar kepada Kas Negara
uang sejumlah antara Rp 500,-sampai Rp 10.000,- bergantung kepada penghasilan
setiap bulan.
7. Mempunyai mata pencaharian yang tetap.
8. Tidak mempunyai kewarganegaraan lain, atau pernah
kehilangan kewarganegaraan RI.
Kehilangan Kewarganegaraan Indonesia
Seorang warganegara Indonesia dapat kehilangan kewarganegaraannya karena
hal-hal berikut:
a. Kawin dengan seorang laki-laki asing, mengangkat
sumpah kepada negara asing.
b.Putusnya perkawinan seorang wanita asing dengan
warganegara Indonesia.
c. Anak seorang orangtua yang kehilangan kewarganegaraan
Indonesia.
d. Memperoleh kewarganegaraan lain karena kemauannya
sendiri.
e. Tidak menolak atau melepaskan kewarganegaraan lain.
f. Diakui oleh seorang orang asing sebagai anaknya.
g. Dinyatakan hilang kewarganegaraannya
oleh Menteri Kehakiman dengan persetujuan Dewan Menteri, mempunyai paspor dari
negara asing.
h. Masuk dalam dinas asing tanpa izin terlebih dahulu
dari Menteri Kehakiman RI.
BAB VIII
POLITIK HUKUM DI INDONESIA
1. POLITIK HUKUM PEMERINTAH BELANDA DI INDONESIA
Orang-orang Indonesia, menurut politik hukum tersebut dibiarkan hidup di bawah
hukumnya sendiri, yaitu Hukum Adat asli.
Politik hukum Pemerintah Belanda di Indonesia yang
disebutkan di atas dapat kita ketemukan dalam pasal 131 I.S. yang dalam
pokoknya mengenai hukum di Indonesia itu menetapkan sebagai berikut:
1. hukum perdata dan dagang, begitu pula hukum pidana
beserta hukum acara perdata dan pidana harus ”dikodifisir” yaitu diletakkan
dalam kitab undang-undang.
2. untuk golongan bangsa Eropa untuk itu harus dianut
peraturan perundangan yang berlaku di Negeri Belanda (asas konkordansi).
3. untuk golongan bangsa Indonesia asli dan timur asing
jika ternyata bahwa kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya dapatlah peraturan-peraturan
untuk bangsa Eropa dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan
perubahan-perubahan dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturan baru
bersama.
4. Orang Indonesia asli dan orang Timur Asing, sepanjang
mereka belum ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama dengan orang Eropa,
diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang berlaku untuk orang Eropa,
penundukkan mana boleh dilakukan baik seluruhnya maupun hanya mengenai sesuatu
perbuatan tertentu
5. sebelum hukum untuk orang Indonesia itu ditulis di
dalam undang-undang maka bagi mereka akan tetap berlaku ”hukum yang sekarang
berlaku bagi mereka”. Dengan ” hukum yang sekarang berlaku bagi mereka” ini
jelaslah yang dimaksudkan ialah Hukum Adat asli orang Indonesia.
KEADAAN HUKUM DI INDONESIA PADA WAKTU PROKLAMASI
KEMERDEKAAN INDONESIA.
Keadaan Hukum di Indonesia pada waktu Bangsa kita memproklamasikan
kemerdekaannya, adalah pada pokoknya masih sama dengan keadaan di waktu
Belantara Jepang mendarat di Pulau Jawa. Hanyalah ada jasa dari Pemerintah
pendudukan Jepang yaitu bahwa telah menghapuskan badan-badan Pengadilan untuk
bangsa Eropa yaitu Raad van Justitie dan Hooggerechtshof.
POLITIK HUKUM NASIONAL.
Semenjak Proklamasi Kemerdekaan pembinaan hukum Nasional haruslah berlandaskan
falsafah Negara Pancasila.
Namun demikian, selama lebih dari seperempat abad lamanya
dalam Negara Indonesia belum ditegaskan tentang suatu politik hukum nasional
seperti pada masa Hindia Belanda dahulu.
Baru pada tahun 1973 ditetapkan Ketetapan MPR No.
IV/MPR/1973 tentang garis-garis besar haluan negara, yang di dalamnya secara
resmi digariskan politik hukum nasional Indonesia tersebut.
Dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 tentang GBHN, yang di
dalamnya secara resmi digariskan politik hukum nasional Indonesia dirumuskan
sebagai berikut:
1. Pembangunan di bidang hukum dalam
Negara Hukum Indonesia adalah berdasar atas landasan Sumber Tertib Hukum yaitu
cita-cita yang terkandung pada pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita moral
yang luhur yang meliputi suasana kejiwaan serta watak dari bangsa Indonesia
yang didapat dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2. Pembangunan di bidang hukum harus
mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan
kesadaran hukum rakyat yang berkembang ke arah modernisasi menurut
tingkat-tingkat kemajuan pembangunan di segala bidang sehingga tercapai
ketertiban dan kepastian hukum sebagai prasarana yang harus ditujukan ke arah
peningkatan pembinaan kesatuan bangsa.
3. Memupuk kesadaran hukum dalam
masyarakat dan membina sikap para penguasa dan para pejabat Pemerintah ke
arah penegakan hukum, keadilan serta perlindungan terhadap harkat dan martabat
manusia dan ketertiban serta kepastian hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar
1945.